Saya agak ragu untuk mengeluarkan review yang satu ini, karena menurut saya sendiri pun film yang satu ini rasanya tidak terlalu perlu ditonton bila kamu sudah membaca manga-nya. Beberapa desas desus mengenai ending orisinal dan juga cerita yang berubah 180 derajat di akhir film tersebut membuat saya sedikit ragu untuk menontonnya.
Namun JOI kembali diberikan kesempatan bagi kami untuk menontonnya dengan bantuan Moxienotion yang membawakan film tersebut ke bioskop Indonesia. Jangan lupa kalau mereka juga akan membawakan film Death Note Light up the New World ke Indonesia di masa depan.
Anime-nya sendiri sudah saya dan rekan-rekan ulas dalam review Bokumachi beberapa bulan lalu, namun kini saatnya kita menggali lagi duka lama untuk menulis review live-action-nya.
Sekolah dan rumah-rumah yang digunakan di pedesaan pun membentuk atmosfer yang cukup mendukung.
Namun dengan penghilangan-penghilangan beberapa cerita entah kenapa saya masih merasa film ini masih dapat ditonton bagi mereka yang belum membaca manga atau menonton anime. Pacing yang cukup baik sehingga cerita tidak berjalan dengan terasa dipercepat membuat saya cukup lega, walaupun memang sebaiknya mereka membagi film ini menjadi beberapa bagian seperti adaptasi buku Hollywood untuk menceritakan seri ini dengan lebih baik.
Ending orisinal tersebut agak mengecewakan, karena menurut saya ending tersebut tidak rasional. Berbeda dengan ending di anime atau manga, cara Satoru ‘menangkap’ pelaku utama seri ini sangat menyedihkan, dan agak bertentangan dengan tujuan dan sifat Satoru di serinya. Bagi saya tujuan utama Satoru di seri ini hanyalah supaya ibunya tidak mati. Udah itu aja.
Lalu di klimaks filmnya, bagi para penonton mungkin bisa saja menjadi adegan yang menegangkan, tapi saya dan teman-teman saya malah tertawa. Karena kami bingung ekspresi apa lagi yang harus kami ungkapkan saat melihat adegan tersebut, dan sejujurnya adegan tersebut seolah ‘membuang’ semua usaha keras Satoru untuk menyelamatkan ibunya dan teman-temannya.
Kalau saja film ini berhenti saat Satoru dijatuhkan ke dalam sungai dan mereka melanjutkan filmnya ke bagian kedua di masa depan mengenai usaha Satoru untuk menangkap sang pembunuh di masa depan; saya rasa akan jadi sebuah film yang jauh lebih menarik.
Ending-nya memang terlalu rusak, apalagi pemotongan bagian-bagian akhir yang vital seolah membuang semua inti dari Bokumachi itu sendiri. Sayang, padahal potensinya untuk menjadi film yang baik sangat amat besar.
Namun JOI kembali diberikan kesempatan bagi kami untuk menontonnya dengan bantuan Moxienotion yang membawakan film tersebut ke bioskop Indonesia. Jangan lupa kalau mereka juga akan membawakan film Death Note Light up the New World ke Indonesia di masa depan.
Anime-nya sendiri sudah saya dan rekan-rekan ulas dalam review Bokumachi beberapa bulan lalu, namun kini saatnya kita menggali lagi duka lama untuk menulis review live-action-nya.
A great rendition of the 80’s
Ingin melihat bagaimana Jepang digambarkan pada tahun 80-an menjadi salah satu dorongan terbesar saya untuk menonton film ini. Untungnya, hal tersebut digambarkan dengan baik, mulai dari suasana sampai ke gaya rambut dan berpakaian mereka sangat amat cocok dengan tahun tersebut. Rambut mengembang seperti singa, padding untuk blazer, sweater rajut tua, dan rumah serta perabotan yang membuat saya kangen masa lalu.Sekolah dan rumah-rumah yang digunakan di pedesaan pun membentuk atmosfer yang cukup mendukung.
Banyak yang ‘dihilangkan’, tapi tidak mengganggu cerita
Demi mencukupi waktu tayang yang hanya sedikit tersebut, film Bokumachi memang menghilangkan beberapa aspek dalam cerita. Pemangkasan terjadi di beberapa tempat, beberapa pemangkasan menurut saya pun cukup fatal tapi mau tidak mau harus dimengerti supaya cerita dan ending orisinal sang sutradara dapat berjalan dengan baik.Namun dengan penghilangan-penghilangan beberapa cerita entah kenapa saya masih merasa film ini masih dapat ditonton bagi mereka yang belum membaca manga atau menonton anime. Pacing yang cukup baik sehingga cerita tidak berjalan dengan terasa dipercepat membuat saya cukup lega, walaupun memang sebaiknya mereka membagi film ini menjadi beberapa bagian seperti adaptasi buku Hollywood untuk menceritakan seri ini dengan lebih baik.
Ending ‘orisinal’
Kekecewaan saya berasal dari ending yang diubah menjadi ending orisinal karena Kei Sanbe sendiri sudah mengatakan kalau baik adaptasi anime maupun live-action-nya boleh menulis adaptasi Boku Dake ga Inai Machi sesuai keinginan mereka sendiri. Bad move, if you asked me.Ending orisinal tersebut agak mengecewakan, karena menurut saya ending tersebut tidak rasional. Berbeda dengan ending di anime atau manga, cara Satoru ‘menangkap’ pelaku utama seri ini sangat menyedihkan, dan agak bertentangan dengan tujuan dan sifat Satoru di serinya. Bagi saya tujuan utama Satoru di seri ini hanyalah supaya ibunya tidak mati. Udah itu aja.
Lalu di klimaks filmnya, bagi para penonton mungkin bisa saja menjadi adegan yang menegangkan, tapi saya dan teman-teman saya malah tertawa. Karena kami bingung ekspresi apa lagi yang harus kami ungkapkan saat melihat adegan tersebut, dan sejujurnya adegan tersebut seolah ‘membuang’ semua usaha keras Satoru untuk menyelamatkan ibunya dan teman-temannya.
Kalau saja film ini berhenti saat Satoru dijatuhkan ke dalam sungai dan mereka melanjutkan filmnya ke bagian kedua di masa depan mengenai usaha Satoru untuk menangkap sang pembunuh di masa depan; saya rasa akan jadi sebuah film yang jauh lebih menarik.
Verdict: BOKU DAKE ga INAI machi/10
Saya rasa sutradaranya menganggap judul film ini terlalu serius.“Boku dake ga Inai Machi? Jadi kota yang tidak ada Satorunya? Ya sudah ngapain ada Satoru dalam film ini, buang.“Di salah satu bagian diri saya ada yang berpikir kalau sutradaranya sendiri yang berbicara seperti itu. Bila kamu penggemar manga-nya yang sudah ketrigger dengan anime-nya, saya yakin kamu akan ketrigger lebih jauh lagi dengan film live-action-nya ini. Walaupun di awal-awal film kamu disuguhkan dengan rekreasi dunia Bokumachi yang baik dan tidak melenceng.
Ending-nya memang terlalu rusak, apalagi pemotongan bagian-bagian akhir yang vital seolah membuang semua inti dari Bokumachi itu sendiri. Sayang, padahal potensinya untuk menjadi film yang baik sangat amat besar.
0 komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan :)